adipurnm

adipurnm's log

Oct 5, 2025

Satu minggu yang berat

Hari Selasa, tepat dua hari setelah saya dan anak berenang di salah satu destinasi wisata, anak saya mendadak demam.

Saya kira hanya demam biasa. Sehari-dua hari juga pasti sembuh. Makanya saya cuma beli obat penurun panas di apotik terdekat.

Tapi, memasuki hari ketiga, demamnya masih ada. Siangnya reda, malamnya kambuh lagi. Mirip gejala tipes.

Hari Kamis, sebenernya saya dan istri sudah memutuskan ingin membawa anak ke klinik terdekat. Tapi, keputusan kami goyah. Pagi hari, demamnya reda. Kami mengira paling besok juga sembuh.

Ternyata kami salah. Kamis malam Jumat, anak kami demam lagi. Mengigau lagi seperti malam-malam sebelumnya. Selalu kebangun setiap satu jam sekali.

Kala itu kami sepakat: anak kami harus dirawat. Mau besok demamnya pagi-pagi turun atau enggak. Nggak ada toleransi lagi. Karena kalau demam udah lebih dari tiga hari, kemungkinan besar ada infeksi dari bakteri atau virus tertentu.

Keputusan untuk rawat inap sempat goyah, setelah mengetahui bahwa ruangan klinik sedang penuh. Kalau mau, harus dirawat di IGD dulu.

Tapi, saya akhirnya memutuskan untuk periksa dulu aja. Kalau bisa rawat jalan, rawat jalan. Kalau tidak, rawat inap di IGD dulu juga gapapa. Kami ikut rekomendasi dokter aja.

Rupanya dokter menyarankan untuk rawat inap, karena anak saya kemungkinan terkena bronkopneumonia. Istilah awamnya: paru-paru basah. Kalau nggak ditangani dengan tepat, ada resiko anak sesak nafas.

Sedihnya orang tua itu ketika melihat anak yang biasanya ceria menjadi murung selama sakit.

Sore kemarin, saya tiba di rumah untuk mengangkat jemuran yang sudah dari pagi saya jemur. Suasana rumah sepi sekali. Hanya ada saya dan Mochi—kucing saya yang beberapa minggu lalu baru lahiran—dan ketiga anaknya.

Ketika mengangkat jemuran, saya terbayang anak saya sedang main sepeda dan kerikil di depan rumah dengan ceria, sambil sesekali memanggil “babah” ketika stang sepedanya bengkok atau ketika sekedar sedang ingin diperhatikan.

Bayangan-bayangan itu membuat saya sedih. Sangat sedih sampai saya menulis tulisan ini pun, rasa sedihnya masih terasa.

Saya rindu momen-momen itu lagi. Momen di mana saya menemani anak saya bermain di depan sore hari selepas kerja. Momen di mana saya meminta anak saya menyudahi aktivitasnya karena sudah mau adzan maghrib. Seminggu ini rasanya lama sekali.

Ketika antri untuk diperiksa oleh dokter pun, anak saya nampak murung sekali. Kantong matanya gelap karena udah beberapa hari kurang tidur. Senyum dan tawa yang biasa menghiasi wajahnya kini hilang untuk sementara.

Pelajaran penting untuk kami selaku orang tua

Kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya dan istri selaku orang tua agar lebih memprioritaskan kesehatan anak. Apa yang kami anggap biasa saja, bisa jadi nggak baik bagi kesehatan anak.

Malam ini malam ketiga anak saya dirawat. Kondisinya sekarang udah semakin membaik. Udah bisa bercanda dan tertawa lagi, walaupun belum seceria ketika sehat. Tinggal menghabiskan antibiotik. Kata dokter—yang mana dokternya ini adalah adik kelas saya di SMP dan SMA dan kami cukup mengenal satu sama lain—besok sudah boleh pulang.

Alhamdulillah. Semoga lekas 100% fit ya nak. Biar kita bisa main sepeda, kerikil, mobil-mobilan, dan main apapun lagi yang kamu mau.

Ruangan Klinik

Balas melalui email.