Hidup bergantung algoritma
Dunia media sosial sepertinya mulai berubah sejak kemunculan TikTok. Bukan karena video joget-jogetnya yang waktu itu cukup kontroversial dan banyak menuai kritikan netizen, tapi karena mekanisme content delivery yang revolusioner.
Alih-alih menampilkan feed berdasarkan orang-orang yang kita ikuti, TikTok memperkenalkan cara baru, yaitu menyajikan konten-konten pilihan algoritma yang sudah disesuaikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan minat kita.
Media sosial lain pun mulai ikut-ikutan, mulai dari plek-ketiplek bikin platform serupa atau hanya sekedar menerapkan algoritma For Your Page— Instagram dengan Reels-nya, YouTube dengan Shorts-nya, Twutter dan Threads dengan halaman For You-nya.
Revolusi TikTok nggak berhenti di sana. Platform ini juga mengenalkan mekanisme social commerce. Sebuah mekanisme di mana media sosial dijadikan alat untuk promosi barang jualan secara online.
Tentunya kalau hanya ini impactnya nggak seberapa. Tapi kalau digabung dengan mekanisme FYP? BOOM! Meskipun kamu bukan artis, tapi kalau algoritma memilihmu, kamu bisa jadi kaya dari jualan di TikTok.
Social commerce ini sempat menuai banyak polemik, terutama di kalangan penjual yang menggantungkan nasibnya di pasar tradisional. Orang-orang mulai jarang pergi ke pasar karena lebih senang belanja online. Apalagi seolah-olah platfrom social commerce ini memahami sekali apa yang kita inginkan dengan cara menyajikan iklan-iklan menarik, menggugah rasa penasaran, dan murah!
Ini yang pastinya jadi alasan utama kenapa orang-orang lebih suka belanja online. Diskon gila-gilaan. Gratis ongkir setiap pesanan. Sebuah strategi kapitalis yang menurut saya sangat tidak sehat untuk jangka panjang, dan pastinya merugikan pelaku-pelaku usaha di pasar tradisional.
Akibatnya, izin TikTok Shop dicabut di Indonesia. Pelaku-pelaku UMKM lokal senang bukan main. Tapi sayang, ini hanya berlaku sementara.
Dengan capital yang dimiliki TikTok, TikTok membeli sebagian besar saham Tokopedia. Dengan cepat melakukan integrasi dengan TikTok, dan viola! TikTok Shop hadir lagi, dengan wajah Tokopedia. Sebuah strategi yang ciamik dan hanya bisa dilakukan oleh kaum borjuis.
Gebrakan lainnya yang dilakukan TikTok adalah program TikTok Affiliate. Simpelnya: orang bikin video yang mengarahkan ke suatu toko, dan untuk setiap pembelian yang berasal dari video tersebut, orang tersebut akan mendapatkan komisi sekian persen.
Let’s say, komisinya itu Rp1.000 per penjualan. Memang kecil, tapi ingat, ini TikTok. Sekalinya FYP, bisa dapat views jutaan.
Katakanlah views-nya 1 juta. Kalau 2% aja penontonnya checkout, maka orang tersebut bisa dapat Rp20.000.000. Dua puluh juta! Dalam satu video! Belum lagi kalau ada beberapa video yang FYP juga.
Makanya, nggak heran kalau ada afiliator yang bisa kebeli rumah, mobil, dan bahkan umroh sekeluarga, karena memang penghasilannya sebesar itu. Tanpa harus panas-panasan, tanpa harus berdesakan, tanpa harus keluar rumah.
Oleh karena itu, banyak orang sekarang ini yang menggantungkan hidupnya kepada algoritma. Bahkan, ada yang bela-belain resign dari kerja kantoran untuk menjadi full-time affiliator!
Ironi hidup bergantung algoritma
Di samping afiliator-afiliator yang berpenghasilan fantastis itu, ada juga afiliator-afiliator yang pecah telur aja rasanya sulit sekali. Padahal, syarat-syarat konten dikatakan bagus itu sudah terpenuhi: hook yang menarik, editing dan pencahayaan yang bagus, konten berbobot, apapun itu.
Mereka hanya kurang hoki karena tidak dipilih oleh algoritma, yang sewaktu-waktu bisa saja berubah. Apa yang udah dipelajari hari ini, bisa jadi nggak relevan di hari esok.
Sungguh ironis.
Padahal, dulu kita tidak perlu bergantung kepada entitas eksternal untuk menyambung hidup. Selama ada pasar, di situ kita bisa mencari sumber penghasilan.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri lagi, sekarang pasar tersebut sudah berubah menjadi pasar digital, apalagi sejak mulai booming-nya istilah online shopping, kemudian e-commerce, hingga sekarang social commerce.
Penjajahan di era digital?
Barang-barang yang dijual di platform ini umumnya jauh lebih murah dari harga biasa. Dan kebanyakan produk-produk tersebut import dari China. Dengan kualitas yang sama, orang-orang pasti akan cenderung membeli barang yang lebih murah. Persetan dengan buatan UMKM lokal atau impor.
UMKM makin sulit bersaing karena harga yang sudah terlalu rusak. Ikut menurunkan harga, margin makin tipis dan nggak masuk akal. Tetap di harga sekarang, jualan nggak laku. Maju kena, mundur juga kena. Ibarat makan buah simalakama.
Ditambah lagi, yang menentukan laris atau enggaknya bukan lagi kualitas produk, tapi kualitas konten dan algoritma.
Dulu orang tinggal datang ke toko kita dan menilai kualitas produk kita secara langsung. Kalau cocok, beli, kalau nggak, cari toko lain.
Sekarang, orang lebih percaya konten. Padahal, bisa jadi kualitasnya tidak sesuai dengan konten yang dibuat. Yang mana, ini keresahan orang-orang ketika online shop pertama kali booming.
Tapi rasanya kebanyakan orang sudah terbiasa dengan itu semua, karena dari pihak platform itu sendiri sekarang sudah menyediakan kebijakan retur dan rating terhadap suatu produk. Rating ini juga sebenarnya masih bisa diakali, cukup banyak orang yang menjual jasa peningkat rating produk e-commerce di luar sana.
Saya bahkan berpikir, apakah ini bentuk penjajahan di era digital?
Coba bayangkan lagi:
- Produk lokal tergantikan oleh produk asing
- Penghidupan ditentukan oleh algoritma dan iklan di platform asing
Mau idealis berdikari pun sulit, karena banyak pembeli yang beralih ke online shopping di platform-platform tersebut. Mereka udah terlanjur nyaman atas kemudahan-kemudahan yang diterima, harga di bawah harga pasar, dan diskon gede-gedean yang nggak masuk akal.
Penjual seolah dipaksa untuk masuk ke ekosistem tersebut, mau tidak mau, demi bertahan hidup. Ada perut-perut yang harus dikasih makan. Ada tagihan-tagihan yang harus dibayarkan. Ada harapan-harapan yang harus tetap dijaga.
Selamat datang di era baru! Di mana kehidupan kita sekarang ditentukan oleh algoritma dan platform asing. Di mana berdikari sama dengan mati.
Salam,
adipurnm.
Mau dapat tulisan-tulisan seperti ini langsung di e-mail kamu? Yuk gabung newsletter sekarang juga! Gratis!